Menciptakan Budaya Apresiasi Melalui Layar Alternatif
Klaim budaya yang dilakukan negeri Jiran pada 2008, sempat menggegerkan masyarakat Indonesia. Reog Ponorogo, Tari Bali, Batik, dan produk seni lainnya diakui oleh Malaysia sebagai warisan nenek moyangnya. Kesenian daerah yang mulai ditinggalkan oleh masyarakat Indonesia tersebut pada akhirnya dikembangkan lagi oleh masyarakat. Sayangnya, mengapa ketika kesenian yang kita tinggalkan diambil oleh negara lain, kita baru menyadari bahwa kesenian tersebut bepotensi memberikan kontribusi yang besar dalam pariwisata Indonesia.
![]() |
Kediri Menonton (Dok. Hanna Humaira) |
Tidak hanya budaya, berbagai macam produk ciptaan anak bangsa pun seringkali pada akhirnya dibeli oleh negara lain. Mobil Listrik ‘Selo’ ciptaan Ricky Elson misalnya. Setelah mengalami kegagalan dalam uji emisi di Indonesia, Malaysia menawarkan diri untuk mengembangkan riset mengenai mobil listrik tersebut . Indonesia belum memprioritaskan pengembangan mobil listrik, sehingga Ricky memutuskan untuk menerima tawaran Malaysia. Pemuda-pemuda berbakat Indonesia juga semakin banyak yang lebih memilih bekerja dan berkarya di negara orang daripada negaranya sendiri. Ditinjau dari kasus diatas, permasalahannya tidak jauh dari apresiasi. Penghargaan terhadap karya dan jasa di negara lain lebih baik daripada di Indonesia.
Penghargaan tersebut dapat dikaitkan dengan budaya apresiasi yang sudah berkembang di masyarakat. Namun budaya ini sesungguhnya dapat ditularkan kepada masyarakat, khususnya anak muda. Apresiasi menurut KBBI adalah kesadaran terhadap nilai seni dan budaya, penilaian (penghargaan) terhadap sesuatu, atau kenaikan nilai barang karena harga pasarnya naik atau permintaan akan barang itu bertambah . Apresiasi biasanya dilakukan oleh konsumen, penikmat, maupun penonton. Apresiasi bukan sekedar melihat, mendengar atau mengkonsumsi, melainkan juga menghayati, menilai, dan membandingkan. Mahasiswa sebagai generasi penerus bangsa, ujung tombak pergerakan sebuah negara memerlukan pemahaman dan praktik yang nyata mengenai budaya apresiasi ini.
Modernisasi membawa dampak pada perubahan sosial masyarakat. Target modernisasi yang paling mudah ialah anak muda karena sifat alamiahnya yang selalu ingin mencoba hal-hal baru. Teknologi yang semakin canggih ini mempengaruhi gaya hidup mahasiswa. Komputerisasi dan pengalihan metode manual ke digital semakin memudahkan kinerja mahasiswa dalam menyelesaikan tugas-tugasnya. Namun tidak jarang, komputer dan gadget digunakan pada kondisi dan momentum yang kurang tepat. Misalnya dalam kegiatan kuliah, seminar, maupun workshop. Perhatian mahasiswa tidak terfokus kepada pembicara melainkan gadget masing-masing.
Apresiasi film merupakan proses menonton, menghayati, dan menilai sebuah film. Jumlah bioskop kelompok 21, cineplex semakin banyak. Kota-kota yang memiliki perguruan tinggi umumya memiliki bioskop film. Semakin banyak jumlah anak muda, khususnya mahasiswa, akan semakin banyak pula jumlah gedung bioskop yang menawarkan berbagai film ter-up-to-date. Misalnya Jakarta, Yogyakarta, Bandung, Surabaya, Solo, dll. Sebagai golongan intelektual, mahasiswa dianggap mampu menilai film yang bagus dan tidak bagus, baik dari segi teknis maupun konten cerita.
Kegiatan menilai film, kini semakin marak dilakukan oleh kelompok masyarakat, khususnya mahasiswa dalam ruang lingkup non-profit. Jumlah filmmaker independen di wilayah daerah semakin meningkat, demikian pula jumlah karya filmnya. Oleh karena itu semakin banyak kelompok mahasiswa yang menciptakan wadah untuk mengapresasi film-film tersebut. Misalnya UKM Sinematografi UI, UKM Sinematografi UNAIR, Kineclub UNS, dan Kineclub UMM. Meski bukan mahasiswa jurusan perfilman, komunitas-komunitas ini rutin mengadakan pemutaran film dan festival film. Pemutaran-pemutaran film di luar bioskop ini disebut sebagai layar alternatif.
Salah satu contoh adalah yang usaha menanamkan apresiasi terhadap karya film ini dilakukan oleh sekelompok mahasiswa ISI Surakarta yang tergabung dalam Solo Documentary Festival. Selain menghadirkan festival film dokumenter se-Indonesia, setiap satu bulan sekali kelompok ini mengadakan acara pemutaran film dokumenter di kampus, sekolah, maupun kampung. Film yang diputar merupakan film dokumenter yang sudah dikurasi oleh tim yang kompeten. Setiap bulan panitia akan menentukan tema film-film yang akan diputar, disesuaikan dengan target penontonnya.
Dimas Erdinta selaku ketua panitia menjelaskan bahwa tema besar dalam Sodoc ialah ‘Suara Sekitar’. Maksud dari tema ini agar masyarakat mendengar dan melihat apa yang terjadi di sekitar sehingga timbul kepekaan sosial. Selain itu agar timbul kesigapan untuk menghadapi fenomena-fenomena sosial yang terjadi di masyarakat, baik dalam memperbaiki kondisi yang semakin buruk maupun menerima modernisasi dengan bijaksana. Film dokumenter memiliki kelebihan pada fakta yang disampaikan di dalam film. Seluruh kegiatan dan cerita di dalam film dokumenter tidak dibuat-buat, sehingga masyarakat dapat belajar secara langsung darinya.
Pada Juni 2016, Sodoc sudah mengadakan pemutaran film selama empat kali. Terdapat perbedaan yang mencolok ketika pemutaran film dilakukan untuk siswa, mahasiswa, dan warga kampung. Di sekolah, siswa-siswi menonton film dengan seksama sekaligus mengapresiasi dengan penilaian serta pertanyaan yang diajukan kepada filmmaker. Meskipun terdapat beberapa siswa yang sibuk dengan gadgetnya. Sementara dalam pemutaran film yang dilakukan di Cangwit Creative Space dan Ruang Seminar Pasca Sarjana ISI Surakarta, Dimas menemukan sejumlah penonton -yang didominasi oleh mahasiswa- yang tidak fokus terhadap film melainkan sibuk memainkan gadget, bahkan membuka laptop.
Sikap mahasiswa-mahasiswa tersebut berbanding terbalik dengan sikap warga desa Kotakan Sukoharjo. Dimas mengungkapkan bahwa warga desa lebih bisa menghargai karya film yang diputar. Sejumlah 70 penonton dari dua dusun di desa tersebut tetap hadir meskipun kegiatan dilakukan setelah kegiatan pengajian. Warga tetap bertahan di lokasi pemutaran film sampai dengan film selesai. Warga juga memperhatikan film secara seksama tanpa sibuk memainkan gadgetnya. Menurut Dimas, fakta ini menunjukkan bahwa penduduk desa masih menjunjung sopan santun dan penghargaan terhadap karya seni. Penduduk desa mengikuti modernisasi tanpa meninggalkan nilai sosial masyarakat. Selain itu menurut Dimas, ditengah maraknya sinetron dan drama televisi yang kurang mendidik, warga desa memerlukan peran komunitas film dalam menyediakan pemutaran film di desa-desa agar kebutuhan masyarakat terhadap film yang mengandung unsur pendidikan dan nilai-nilai sosial masyarakat dapat terpenuhi.
Proses pembentukan budaya apresiasi melalui layar alternatif ini merupakan salah satu kegiatan yang menyenangkan. Sesuai dengan salah satu fungsi seni; yakni menghibur. Selain itu layar alternatif juga lebih terjangkau daripada bioskop. Mahasiswa sebagai penikmat seni harusnya dapat menikmati sekaligus belajar memahami nilai-nilai yang terdapat dalam proses berkarya maupun proses menikmati karya itu sendiri. Selain sebagai proses menikmati, menilai, dan membandingkan, apresiasi seni dapat digunakan sebagai upaya meningkatkan dan memupuk kecintaan mahasiswa terhadap karya anak bangsa sekaligus kecintaannya terhadap sesama manusia. Melalui apresiasi seni, mahasiswa belajar untuk menghargai orang lain, khususnya seniman itu sendiri. Hal tersebut dapat berpengaruh pula terhadap ketahanan budaya bangsa.
Meskipun apresiasi identik dengan karya seni, sesungguhnya budaya apresiasi dapat diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat. Mahasiswa dapat meningkatkan empatisme, simpatisme, maupun kreativitas. Kemampuan ini mampu memantik kebiasaan tolong menolong, gotong-royong dan persatuan masyarakat. Kehidupan saling menghargai dan menghormati juga dapat menciptakan iklim perdamaian sehingga kesejahteraan masyarakat lebih meningkat.
Ditulis oleh Hanna Humaira
*Tulisan ini dibuat untuk mengikuti seleksi Mahasiswa Bicara Film di UI Film Festival 2016.
Comments
Post a Comment
comment here...