Inem Pelayan 'Sexy' era 70an

Peran perempuan dan batas-batas antara elite dan proletar yang ditembus oleh Inem, si pelayan "sexy". 


Rumah keluarga Cokro sangat berantakan karena istrinya, nyonya Cokro layaknya putri raja yang malas melakukan pekerjaan rumah. Ia terlalu galak, sehingga tidak ada babu yang betah bekerja kepadanya. Inem, dibawa oleh tukang Roti, menerima penawaran untuk bekerja dengan keluarga Cokro dengan gaji 3x lipat dibanding teman-teman babunya yang lain. Harga yaang sebanding untuk perempuan dengan berbagai kelebihan seperti Inem. "Bisa masak sedikit-sedikit, bisa nyuci sedikit-sedikit, bisa nyetrika sedikit-sedikit." Inem yang jujur dan sederhana, tidak muluk-muluk menjanjikan kelebihan-kelebihannya kepada majikan.

Singkat cerita, Inem telah menyelamatkan seorang pria dari amukan warga kampungnya yang ternyata ialah bos dari keluarga Cokro yaitu Pak Broto. Pertemuan pertama itu membuat Pak Broto jatuh cinta dan ketika bertemu dengan Inem lagi, ia berusaha mendekatinya.


Dilihat dari poster filmnya, sekilas saya berpikir, film semi macam apa ini? Seorang perempuan cantik yang hanya memakai bra dan paha yang terpampang nyata. Poster yang tidak mungkin lolos di era 2000 ini. Ditambah dua orang lelaki yang sedang membicarakannya, dan seorang perempuan paruh baya yang berkuatas atas pria berkacama. Semacam perselingkuhan antara majikan dan pembantunya mungkin? Namun ternyata, plot twistnya cukup membuat saya geleng-geleng sambil ketawa.


Di scene pertama film ini, suasananya perumahan nampak biasa-biasa saja. Seorang tukang roti dengan teriakan khas "rootiiiiii" mengayuh gerobaknya dan langsung membagikan pesanan roti pada babu-babu yang sudah berbaris rapi di depan rumah majikannya masing-masing. Babu-babu berkebaya, sanggul, dan jarik layaknya para abdi keraton. Setibanya di rumah Pak Cokro, ia tak hanya bertransaksi roti, namun juga tenaga kerja pembantu rumah tangga. Obrolan yang tak asing bagi saya bahkan hingga tahun 2021 ini. Seorang pembantu yang harus didatangkan dari desa, terutama jawa, yang sudah pasti gemati lan ngati-ati tur ngabdi (rajin, berhati-hati, dan mengabdi). Apalagi orang Jawa biasanya Nrimo ing pandum. Bagi saya tidak diragukan lagi loyalitas orang jawa. Namun berbeda dengan Inem. Meskipun berasal dari desa, dia punya kelebihan-kelebihan yang membuat daya tawarnya lebih.


Inem, si penggerak cerita datang di hari berikutnya. Setibanya di rumah Pak Cokro, saya masih disuguhkan dengan kelebihan object visual pleasure. Inem yang cantik, lemah lembut, malu-malu dan sexy.

Disisi lain, diperkenalkan sosok Pak Broto yang komedik. Apa bayanganmu tentang om-om bos perusahaan property? Imaginasi saua tergambarkan di sosok Pak Broto ini. Berbadan besar, perut buncit, tidak tampan, tapi penampilannya berduit. 180° dibanding Inem.

Saya menyoroti dua karakter ini, karena keduanya lah yang menyita perhatian saya. Pak Broto adalah contoh pria "kaya" sesungguhnya, yang ramah, berempati tinggi, murah tawa, dan KAYA. Melalui karakter Pak Broto, saya diperlihatkan keseksian Inem yang sesungguhnya.


Inem perempuan yang pemberani. Ia berani melawan kelompok pria yang hendak main hakim sendiri, menghancurkan mobil seroang pria yang akan menggusur Inem dan tetangga-tetangganya sendiri. Ia dengan lantang mengusir dan membubarkan mereka. Adegan ini cukup heroik, mengingatkan saya bahwa emak-emak tuh punya kekuatan superpower. Inem memang 'sexy'. Namun ternyata keseksian ini yang membuat Pak Broto, si pemilik tanah, jatuh cinta kepadanya.

Inem perempuan berprinsip. Meskipun babu, tapi ia tak mudah dirayu. Perlu tekad dan usaha yang kuat bagi Pak Broto untuk mendapatkan hati Inem. Meskipun janda ia tak mudah berkata iya. Adat kesopanan dalam berhubungan antara lelaki dan perempuan di tahun 70an, nampak kuat di sikap Inem. Jelas berbeda dengan karakter-karakter perempuan di film tahun 2000 yang nyah nyoh. 


Inem perempuan berhati mulia. Meskipun hanya seorang babu, ia menawarkan tabungannya yang hanya seribu untuk disumbangkan kepada orang-orang yang terdampak bencana alam. Disaat nyonya-nyonya membicarakan derma yang sudah mereka sumbangkan dan ketidak-ikhlasannya.

Inem perempuan yang sadar pentingnya pendidikan. Meskipun hanya lulusan SD, ia bekerja keras agar anaknya menempuh pendidikan yang layak. Setelah dilamar Pak Broto pun ia mampi belajar bahasa Inggris dan kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan.

Inem menembus dinding antara babu dan tuan. Di pesta pernikahannya, ia menggabungkan tamu-tamunya yang berasal dari kaum elit dan proletar. Makan dari satu meja, menari dan menyanyikan lagu yang sama. Inem berpidato, menyuarakan hidup sederhana. Perbedaan orang-orang desa dan kota, miskin dan kaya. Menggelitik para budak korporat dan istri-istrinya. 


Dibalik itu, Inem tetaplah Inem. Orang desa sederhana yang harus beradaptasi menjadi seorang nyonya. Namun yang saya garis bawahi, film ini menandai kekuatan perempuan dari berbagai kalangan. Kebebasan berpendat, berekspresi, dan bermimpi.

Comments

Popular Posts