Film Review on Three Paragraphs: Raden Mas, Where is the Friend's Home?, Floating Weeds, Pasir Berbisik, Memories of Murder, In the Mood For Love, Kaki Bakar


RADEN MAS (1959, L. Khrisnan)

            Raden Mas menceritakan tentang seorang pangeran yang menikah dengan seorang penari bernama Mas Ayu. Mereka memiliki seorang putri yang cantik jelita bernama Raden Mas. Film ini diangkat dari cerita rakyat Singapura. Keluarga kerajaan Kediri merasa malu karena pangeran menikah dengan seorang penari. Hal ini menyebakan sang ratu nekat membunuh Mas Ayu. Sakit hati yang di derita pangeran membawanya pergi hingga ke pulau Temasik bersama bayinya, Raden Mas. Ia memutuskan hidup berdua dengan anaknya sebelum ia menikah dengan Putri Khadijah dan memiliki seorang putra.
            Film ini memperlihatkan male gaze, dimana lelaki sebagai subyek sementara pemerempuan sebagai obyek. Scene-scene awal dalam film ini memperlihatkan keindahan gerakan tubuh dan suara merdu Mas Ayu. Wanita menjadi obyek tontonan yang menyenangkan. Selain itu, tokoh Mas Ayu dapat pula menjadi wakil dari perempuan yang mengimpikan menikah dengan seorang pangeran. Mas Ayu merupakan wakil dari penonton, sehingga berlaku narsisme. Tidak hanya Mas Ayu, Raden Mas pun menjadi obyek dalam film tersebut. Ia teraniaya oleh ibu tirinya yang sering memerintah dan memarahinya. Ketika melihat adegan tersebut, penonton dapat merasakan iba atas apa yang dirasakan oleh Raden mas, sehingga terjadilah narsisme. Kesenangan dalam menonton tokoh Raden Mas ini dapat dirasakan pula ketika ia sedang mandi di sungai, dengan menggunakan kemben ia terlihat sexy.  
            Selain perempuan, terdapat tokoh lelaki sebagai obyek. Ketika pangeran diasingkan dan di kurung di dalam sumur, ia tidak dapat berkata dan bertindak apapun. Sementara itu, Sultan memiliki kekuasaan yang besar dalam menentukan kebebasan pangeran. Sutan ialah subyek dalam adegan tersebut. Lelaki menjadi idola ketika ia berhasil mengalahkan lawannya dalam pertandingan dengan musuh. Saudara-saudara pangeran dari Jawa berhasil melakukan tindakan heroic untuk menjaga harkat dan martabat pangeran dan kerajaan Kediri. Ketika lelaki menjadi obyek tontonan, berarti terdapat masculinity di dalam film tersebut.



WHERE IS THE FRIEND’S HOME ? (1987, Abbas Kiarostami)


            Where is the friend’s home menceritakan tentang seorang anak lelaki Iran bernama Ahmed yang mencari rumah temannya, Moh. Reza hanya untuk mengembalikan buku yang tanpa sengaja terbawa olehnya. Penyebab tindakan nekatnya ini ialah pada adegan awal dimana sang guru memarahi Reza karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR) di dalam buku. Usut punya usut, penyebab ia tidak mengerjakan PR adalah karena bukunya terbawa oleh sepupunya. Ahmed tidak ingin Reza dihukum karena tidak mengerjakan PR lagi. Sebenarnya Ahmed tidak diijinkan oleh ibunya untuk pergi, namun Ahmed tetap mencuri waktu untuk mencari rumah temannya yang terletak di desa tetangga.
            Shot-shot dan plot cerita yang digunakan Abbas cukup sederhana. Ia tidak menggunakan shot-shot yang bertujuan untuk menipu mata penonton. Abbas memperlihatkan shot secara apa adaya. Terlihat dari perjalanan Ahmed ke desa tetangga, ia harus melewati jalanan, menaiki bukit, melewati pepohonan dan menyusuri lorong-lorong. Penonton melihatnya secara asli (real) sehingga mampu merasakan kelelahan dan kebingungan yang juga dirasakan oleh Ahmed. Ahmed tidak mengetahui kepastian alamat rumah Reza.
            Di akhir film, Ahmed tidak berhasil menemukan rumah Reza. Ia pulang dengan perasaan takut dan bersalah. Ia takut ayahnya marah dan takut jika gurunya akan memarahi Reza. Ayah Reza tidak memarahi Reza, melainkan hanya menatap padanya. Terdapat banyak long shot di dalam film yang menimbulkan kesan realisme. Long shot merangsang penonton untuk terus mengikuti percakapan dan merasakan bahwa percakapan itu benar-benar terjadi.

           
FLOATING WEEDS (1959, Yasujiro Ozu)

            Jepang memiliki karakter seni yang sederhana namun indah. Dipengaruhi oleh kepercayaan Zen, karya seni pun ikut menyumbang kesan-kesan ketenangan dan keseimbangan serta sikap rendah hati. Yasujiro Ozu, seorang sutradara yang spiritualis. Ia membuat karya seni sesuai dengan kepercayaan, pola pikir dan perilaku masyarakat Jepang pada waktu itu. Film-film Yasujiro Ozu selalu menggambarkan Jepang secara mendalam.
            Film Floating Weeds menceritakan tentang seorang aktor yang pindah ke  sebuah kota tempat anak  dan istrinya tinggal. Anaknya belum pernah bertemu dengan ayahnya tersebut sehingga ia tidak mengetahui bahwa sang aktor adalah ayahnya. Film ini memiliki konflik sederhana yang berdasarkan kekeluargaan atau kehidupan sebuah keluarga. Sang anak baru mengetahuinya di akhir cerita. Tidak hanya dari segi pemilihan cerita, Ozu juga selalu menciptakan shot-shot yang sederhana yang mana kamera hanya diam tanpa panning maupun tilting. Mata kamera selalu sejajar dengan mata pemeran maupun obyek benda di dalam film tersebut. Hal ini menggambarkan kerendahan hati yang dimiliki oleh kepercayaan Zen.
            Sudut pengambilan gambar pun seringkali melanggar aturan 180o  yang diciptakan oleh sineas-sineas Amerika. Bagi sineas Amerika, film Ozu ini memiliki banyak kekurangan. Namun ternyata, Ozu memang membuat film tanpa mengikut pada  aturan-aturan yang dibuat oleh film Hollywood. Secara sengaja, ia melanggar aturan-aturan tersebut dan membuat aturannya sendiri. Hal ini menciptakan sebuah ciri khas yang berbeda dari diri Ozu. Ia merupakan seorang Author karena berhasil membuat karya yang memiliki gaya yang berbeda dari karya-karya lainnya, terutama karya film Hollywood.



PASIR BERBISIK (2001, Nan T. Achnas)



Pasir yang bergesekan dengan angin di laut dan di atas gunung itu seakan berbisik. Film yang berlatarkan pantai selatan Yogyakarta dan guung Bromo ini menceritakan tentang seorang ibu yang teramat mencintai putri semata wayangnya, Dayah. Ibu selalu memanggil anaknya dengan sebutan Anak ini membesarkan putrinya sendiri tanpa ditemani oleh suaminya. Ia bekerja sebagai penjual jamu dan pembantu dukun beranak. Dayah yang semakin beranjak dewasa tidak pernah lengah dari pengawasan ibundanya. Ia pun selalu menurut dan tidak berani melawan orang tuanya. Cerita yang menggambarkan kecintaan seorang ibu terhadap anaknya ini, sesungguhnya merupakan interpretasi dari hubungan ibu pertiwi dengan penduduknya.
Suatu hari, kampung Dayah diserang oleh pemberontak sehingga mereka harus lari dan tinggal di tempat yang baru. Ia pergi bersama ibunya tanpa berhenti berharap suatu saat ayahnya akan datang menjemputnya dan mengajak dirinya dan ibunya pergi ke kota. Tokoh-tokoh utama film ini adalah perempuan. Film ini merepresentasikan tentang perjuangan seorang janda dan anaknya, sehingga terlihat jelas feminisme yang ada dalam film tersebut.
Dayah menjadi obyek yang terjajah oleh kemauan dan peraturan ibunya. Sebagai seorang anak perempuan, Dayah tidak dapat melawan perintah ibunya melainkan selalu menurutinya. Beberapa scene juga menunjukkan sisi sensual dayah sebagai seorang kembang perawan. Beberapa adegan erotic seperti saat ia dijual oleh ayahnya, dapat mengundang vyourism atau kenikmatan dalam menonton secara sexual pleasure. Sementara ibunya memiliki sikap tegas dan kasih sayang yang besar terhadap anaknya. Sikap ini dapat menciptakan sebuah kekaguman di mata spectators, sehingga dapat dimungkinkan adanya narsisme pada penonton terhadap tokoh ibu.



MEMORIES OF MURDER (2003, Bong Joon-ho)



            Detektif menganalisa kasus berdasarkan bukti-bukti yang ia temukan. Film Memories of Murder menceritakan tentang detektif lokal dan detektif kota yang berusaha memecahkan kasus pembunuhan berantai wanita-wanita cantik. Kisah ini terinspirasi dari kisah nyata yang benar-benar terjadi di Korea Selatan. Tokoh utama film ini adalah seorang detektif lokal yang beserta partnernya selalu memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Ia memerintahkan dan memaksa orang lain untuk mengaku sebagai pembunuh, sekalipun mereka adalah pemuda yang memiliki kelainan perkembangan otak. Seorang detektif dari sentral kepolisian Korea Selatan (detektif kota)didatangkan untuk memecahkan masalah yang ada, dan membatalkan tindakan-tindakan yang tidak berperi kemanusiaan yang dilakukan oleh detektif lokal tersebut.
Detektif kota mengumpulkan berbagai macam bukti dan petunjuk-petunjuk yang ditinggalkan oleh pembunuh. Namun belum sampai pentunjuk-petunjuk itu dipecahkan, terus saja terjadi pembunuhan-pembunuhan berikutnya. Keadaan ini dapat membuat spectator ikut bertanya-tanya dan memikirkan siapakah pembunuh yang sebenarnya. Sikap spectator yang mulai ikut menganalisa dan menerka-nerka ini disebut sebagai kognitif.  Kognitif membuat spectator menggunakan logika dan akal sehatnya untuk lebih menikmati plot cerita dalam sebuah film.
Pshycoanalysis tidak mengizinkan spectator untuk berpikir secara logis apalagi menerka-nerka kejadian berikutnya. Spectator mengalami kenikmatan dan penghayatan terlebih terhadap tokoh dalam film. Spectator merasa ada di dalam film dan seolah-olah menjadi pemeran di dalam film tanpa memikirkan apa yang akan terjadi berikutnya. Di akhir film, identitas pembunuh masih belum ditemukan. Hal ini membuat spectator sama penasarannya dengan detektif-detektif yang ada dalam film Memories of Murder ini.



IN THE MOOD FOR LOVE (2000, Wong Kar-wai)



Tuan Chow dan Mrs. Chan baru saja pindah ke sebuah apartemen yang sama. Tuan Chow memiliki seorang istri, sedangkan Mrs. Chan memiliki seorang suami meskipun keduanya sering ditinggalkan dan diduakan oleh pasangan masing-masing. In the Mood for Love bercerita tentang pertemanan seorang sekretaris dan wartawan yang berujung pada perselingkuhan. Mereka berdua memiliki kesamaan dan nasib yang sama sehingga saling berempati dan lama-kelamaan saling jatuh cinta.
            Cinematic image dalam film ini terdiri dari movement image dan time image. Keduanya memiliki peranaan yang penting untuk membuat mood of presentation dalam film tersebut. Movement image menciptakan persepsi berdasarkan aksi-aksi yang berkesinambungan. Sementara itu time image menciptakan persepsi berdasakan memori-memori yang disusun secara puzzle atau tidak saling berurutan. Sehingga spectator tidak dapat membedakan secara jelas dimana letak present, past dan future. Susunan plot dalam film ini tidak dapat dilihat dan ditafsirkan secara jelas karena adegan demi adegan yang berjalan tidak menerangkan kejelasan antara space dan waktu yang berlaku. Terdapat banyak sekali adegan, lokasi, properti, maupun aksi-aksi yang diulang-ulang. Seperti adegan menelepon di kantor, makan mie, berjalan berdua, di dalam taksi, dinner, dan menulis bersama. Hal-hal tersebut merupakan memori-memori yang dapat menjadi petunjuk dan membeentuk persepsi spectator itu sendiri.
Film yang berlatarkan Hongkong pada tahun 60’an ini menyampaikan tentang modernisme yang menguasai negara itu sendiri.  Perselingkuhan yang digambarkan dalam film tersebut, secara simbolik menggambarkan sikap masyarakat Hongkong. Mereka lebih mencintai budaya populer dari Amerika Latin yang berkembang pesat pada saat itu.



KAKI BAKAR (1995, U-Wei Haji Saari)   



Seorang veteran jaman penjajahan Indonesia merantau ke semenanjung Malaya. Ia menikah dengan wanita Malaysia dan tinggal bersama lima orang anaknya. Sejauh kehidupannya bersama orang-orang Melayu, Kakang masih memegang teguh dan membanggakan sikap serta keberaniannya sebagai orang jawa. Ia selalu mengajarkan kepada anak-anaknya untuk menjadi orang yang berani dan bekerja keras. Anak lelakinya yang mulai tumbuh dewasa mewakili sifat-sifat keberanian dan perlawanan yang ia turunkan. Ia seringkali mengkritisi ayahnya sendiri yang sering bertingkah dan berlaku seenaknya.
Film ini menceritakaan tentang keluarga Kakang yang hidupnya terisolasi. Keadaan ini disebabkan tindakan Nekat kakang yang seringkali membuat orang yang menyakiti hatinya rugi besar. Di awal cerita dikisahkan bahwa Kakang telah membakar persediaan karet milik warga, sehingga lagi-lagi dia harus diusir dari kampung tempat tinggalnya. Pada awal cerita sudah dijelaskan bahwa kakang adalah sosok yang arogan dan tempramental. Di depan orang yang menyakitinya, ia hanya bisa diam. Namun ketika orang tersebut pergi, ia bisa sangat marah. Ini sesuai dengan karakter orang jawa, dimana diam-diam ia dapat menyerang orang yang ia benci atau musuhi.

Film ini memiliki pesan-pesan yang disampaikan secara langsung menggunakan bahasa verbal maupun pesan-pesan khusus yang harus melewati proses penafsiran terlebih dahulu. Beberapa adegan dalam film ini menunjukkan adanya penafsiran yang berbeda dari analisis yang dilakukan secara linguistik dengan penafsiran non-linguistik. Misalkan pada karakter Kakang sendiri, ia memiliki kaki yang pincang. Keterangan yang dijabarkan oleh Kakang sendiri menyebutkan bahwa ia adalah salah satu korban luka pada masa perang melawan penjajahan Belanda. Di luar pertanda bahasa yang ia ungkapkan, kakinya yang cedera dapat ditafsirkan sebagai sebuah beban hidup yang dialami oleh Kakang. Namun ia tetap berjalan dengan cepat karna ia percaya bahwa orang Jawa harus gesit dan bekerja keras.

Comments

Popular Posts