Film Review on Three Paragraphs: Raden Mas, Where is the Friend's Home?, Floating Weeds, Pasir Berbisik, Memories of Murder, In the Mood For Love, Kaki Bakar
Raden Mas menceritakan
tentang seorang pangeran yang menikah dengan seorang penari bernama Mas Ayu.
Mereka memiliki seorang putri yang cantik jelita bernama Raden Mas. Film ini
diangkat dari cerita rakyat Singapura. Keluarga kerajaan Kediri merasa malu
karena pangeran menikah dengan seorang penari. Hal ini menyebakan sang ratu
nekat membunuh Mas Ayu. Sakit hati yang di derita pangeran membawanya pergi
hingga ke pulau Temasik bersama bayinya, Raden Mas. Ia memutuskan hidup berdua
dengan anaknya sebelum ia menikah dengan Putri Khadijah dan memiliki seorang
putra.
Film ini memperlihatkan male gaze, dimana lelaki sebagai subyek
sementara pemerempuan sebagai obyek. Scene-scene
awal dalam film ini memperlihatkan keindahan gerakan tubuh dan suara merdu Mas
Ayu. Wanita menjadi obyek tontonan yang menyenangkan. Selain itu, tokoh Mas Ayu
dapat pula menjadi wakil dari perempuan yang mengimpikan menikah dengan seorang
pangeran. Mas Ayu merupakan wakil dari penonton, sehingga berlaku narsisme. Tidak
hanya Mas Ayu, Raden Mas pun menjadi obyek dalam film tersebut. Ia teraniaya
oleh ibu tirinya yang sering memerintah dan memarahinya. Ketika melihat adegan
tersebut, penonton dapat merasakan iba atas apa yang dirasakan oleh Raden mas,
sehingga terjadilah narsisme. Kesenangan dalam menonton tokoh Raden Mas ini
dapat dirasakan pula ketika ia sedang mandi di sungai, dengan menggunakan kemben ia terlihat sexy.
Selain perempuan, terdapat
tokoh lelaki sebagai obyek. Ketika pangeran diasingkan dan di kurung di dalam
sumur, ia tidak dapat berkata dan bertindak apapun. Sementara itu, Sultan
memiliki kekuasaan yang besar dalam menentukan kebebasan pangeran. Sutan ialah
subyek dalam adegan tersebut. Lelaki menjadi idola ketika ia berhasil
mengalahkan lawannya dalam pertandingan dengan musuh. Saudara-saudara pangeran
dari Jawa berhasil melakukan tindakan heroic untuk menjaga harkat dan martabat
pangeran dan kerajaan Kediri. Ketika lelaki menjadi obyek tontonan, berarti
terdapat masculinity di dalam film
tersebut.
WHERE IS THE FRIEND’S HOME ?
(1987, Abbas Kiarostami)
Where is the friend’s home menceritakan tentang seorang anak lelaki Iran bernama Ahmed yang mencari rumah temannya, Moh. Reza hanya untuk mengembalikan buku yang tanpa sengaja terbawa olehnya. Penyebab tindakan nekatnya ini ialah pada adegan awal dimana sang guru memarahi Reza karena tidak mengerjakan pekerjaan rumah (PR) di dalam buku. Usut punya usut, penyebab ia tidak mengerjakan PR adalah karena bukunya terbawa oleh sepupunya. Ahmed tidak ingin Reza dihukum karena tidak mengerjakan PR lagi. Sebenarnya Ahmed tidak diijinkan oleh ibunya untuk pergi, namun Ahmed tetap mencuri waktu untuk mencari rumah temannya yang terletak di desa tetangga.
Shot-shot dan plot cerita
yang digunakan Abbas cukup sederhana. Ia tidak menggunakan shot-shot yang bertujuan
untuk menipu mata penonton. Abbas memperlihatkan shot secara apa adaya. Terlihat dari perjalanan Ahmed ke desa
tetangga, ia harus melewati jalanan, menaiki bukit, melewati pepohonan dan
menyusuri lorong-lorong. Penonton melihatnya secara asli (real) sehingga mampu merasakan kelelahan dan kebingungan yang juga
dirasakan oleh Ahmed. Ahmed tidak mengetahui kepastian alamat rumah Reza.
Di akhir film, Ahmed tidak
berhasil menemukan rumah Reza. Ia pulang dengan perasaan takut dan bersalah. Ia
takut ayahnya marah dan takut jika gurunya akan memarahi Reza. Ayah Reza tidak
memarahi Reza, melainkan hanya menatap padanya. Terdapat banyak long shot di dalam film yang menimbulkan
kesan realisme. Long shot merangsang
penonton untuk terus mengikuti percakapan dan merasakan bahwa percakapan itu
benar-benar terjadi.
FLOATING WEEDS (1959, Yasujiro
Ozu)
Jepang memiliki karakter seni yang sederhana namun indah. Dipengaruhi oleh
kepercayaan Zen, karya seni pun ikut menyumbang kesan-kesan ketenangan dan
keseimbangan serta sikap rendah hati. Yasujiro Ozu, seorang sutradara yang
spiritualis. Ia membuat karya seni sesuai dengan kepercayaan, pola pikir dan
perilaku masyarakat Jepang pada waktu itu. Film-film Yasujiro Ozu selalu menggambarkan
Jepang secara mendalam.
Film Floating Weeds menceritakan tentang seorang aktor yang pindah
ke sebuah kota tempat anak dan istrinya tinggal. Anaknya belum pernah
bertemu dengan ayahnya tersebut sehingga ia tidak mengetahui bahwa sang aktor
adalah ayahnya. Film ini memiliki konflik sederhana yang berdasarkan
kekeluargaan atau kehidupan sebuah keluarga. Sang anak baru mengetahuinya di
akhir cerita. Tidak hanya dari segi pemilihan cerita, Ozu juga selalu
menciptakan shot-shot yang sederhana yang mana kamera hanya diam tanpa panning maupun tilting. Mata kamera selalu sejajar dengan mata pemeran maupun
obyek benda di dalam film tersebut. Hal ini menggambarkan kerendahan hati yang
dimiliki oleh kepercayaan Zen.
Sudut pengambilan gambar
pun seringkali melanggar aturan 180o yang diciptakan oleh sineas-sineas Amerika.
Bagi sineas Amerika, film Ozu ini memiliki banyak kekurangan. Namun ternyata, Ozu
memang membuat film tanpa mengikut pada
aturan-aturan yang dibuat oleh film Hollywood. Secara sengaja, ia
melanggar aturan-aturan tersebut dan membuat aturannya sendiri. Hal ini
menciptakan sebuah ciri khas yang berbeda dari diri Ozu. Ia merupakan seorang Author karena berhasil membuat karya
yang memiliki gaya yang berbeda dari karya-karya lainnya, terutama karya film
Hollywood.
Pasir yang bergesekan dengan angin di laut dan di atas
gunung itu seakan berbisik. Film yang berlatarkan pantai selatan Yogyakarta dan
guung Bromo ini menceritakan tentang seorang ibu yang teramat mencintai putri
semata wayangnya, Dayah. Ibu selalu memanggil anaknya dengan sebutan Anak ini
membesarkan putrinya sendiri tanpa ditemani oleh suaminya. Ia bekerja sebagai
penjual jamu dan pembantu dukun beranak. Dayah yang semakin beranjak dewasa
tidak pernah lengah dari pengawasan ibundanya. Ia pun selalu menurut dan tidak
berani melawan orang tuanya. Cerita yang menggambarkan kecintaan seorang ibu
terhadap anaknya ini, sesungguhnya merupakan interpretasi dari hubungan ibu
pertiwi dengan penduduknya.
Suatu hari, kampung Dayah diserang oleh pemberontak
sehingga mereka harus lari dan tinggal di tempat yang baru. Ia pergi bersama
ibunya tanpa berhenti berharap suatu saat ayahnya akan datang menjemputnya dan
mengajak dirinya dan ibunya pergi ke kota. Tokoh-tokoh utama film ini adalah
perempuan. Film ini merepresentasikan tentang perjuangan seorang janda dan
anaknya, sehingga terlihat jelas feminisme yang ada dalam film tersebut.
Dayah menjadi obyek yang terjajah oleh kemauan dan
peraturan ibunya. Sebagai seorang anak perempuan, Dayah tidak dapat melawan
perintah ibunya melainkan selalu menurutinya. Beberapa scene juga menunjukkan sisi sensual dayah sebagai seorang kembang
perawan. Beberapa adegan erotic
seperti saat ia dijual oleh ayahnya, dapat mengundang vyourism atau kenikmatan dalam
menonton secara sexual pleasure. Sementara
ibunya memiliki sikap tegas dan kasih sayang yang besar terhadap anaknya. Sikap
ini dapat menciptakan sebuah kekaguman di mata spectators, sehingga dapat dimungkinkan adanya narsisme pada
penonton terhadap tokoh ibu.
Detektif menganalisa kasus
berdasarkan bukti-bukti yang ia temukan. Film Memories of Murder menceritakan tentang detektif lokal dan detektif
kota yang berusaha memecahkan kasus pembunuhan berantai wanita-wanita cantik.
Kisah ini terinspirasi dari kisah nyata yang benar-benar terjadi di Korea
Selatan. Tokoh utama film ini adalah seorang detektif lokal yang beserta
partnernya selalu memaksakan kehendaknya kepada orang lain. Ia memerintahkan
dan memaksa orang lain untuk mengaku sebagai pembunuh, sekalipun mereka adalah
pemuda yang memiliki kelainan perkembangan otak. Seorang detektif dari sentral
kepolisian Korea Selatan (detektif kota)didatangkan untuk memecahkan masalah
yang ada, dan membatalkan tindakan-tindakan yang tidak berperi kemanusiaan yang
dilakukan oleh detektif lokal tersebut.
Detektif kota mengumpulkan berbagai macam bukti dan
petunjuk-petunjuk yang ditinggalkan oleh pembunuh. Namun belum sampai
pentunjuk-petunjuk itu dipecahkan, terus saja terjadi pembunuhan-pembunuhan
berikutnya. Keadaan ini dapat membuat spectator
ikut bertanya-tanya dan memikirkan siapakah pembunuh yang sebenarnya. Sikap spectator yang mulai ikut menganalisa
dan menerka-nerka ini disebut sebagai kognitif. Kognitif membuat spectator menggunakan logika dan akal sehatnya untuk lebih
menikmati plot cerita dalam sebuah film.
Pshycoanalysis
tidak
mengizinkan spectator untuk berpikir
secara logis apalagi menerka-nerka kejadian berikutnya. Spectator mengalami kenikmatan dan penghayatan terlebih terhadap
tokoh dalam film. Spectator merasa
ada di dalam film dan seolah-olah menjadi pemeran di dalam film tanpa
memikirkan apa yang akan terjadi berikutnya. Di akhir film, identitas pembunuh
masih belum ditemukan. Hal ini membuat spectator
sama penasarannya dengan detektif-detektif yang ada dalam film Memories of
Murder ini.
Tuan Chow dan Mrs. Chan baru saja pindah ke sebuah
apartemen yang sama. Tuan Chow memiliki seorang istri, sedangkan Mrs. Chan
memiliki seorang suami meskipun keduanya sering ditinggalkan dan diduakan oleh
pasangan masing-masing. In the Mood for Love bercerita tentang pertemanan
seorang sekretaris dan wartawan yang berujung pada perselingkuhan. Mereka
berdua memiliki kesamaan dan nasib yang sama sehingga saling berempati dan
lama-kelamaan saling jatuh cinta.
Cinematic image dalam film ini terdiri dari movement image dan time
image. Keduanya memiliki peranaan yang penting untuk membuat mood of presentation dalam film
tersebut. Movement image menciptakan
persepsi berdasarkan aksi-aksi yang berkesinambungan. Sementara itu time image menciptakan persepsi
berdasakan memori-memori yang disusun secara puzzle atau tidak saling berurutan. Sehingga spectator tidak dapat membedakan secara jelas dimana letak present, past dan future. Susunan plot dalam film ini tidak dapat dilihat dan ditafsirkan
secara jelas karena adegan demi adegan yang berjalan tidak menerangkan
kejelasan antara space dan waktu yang
berlaku. Terdapat banyak sekali adegan, lokasi, properti, maupun aksi-aksi yang
diulang-ulang. Seperti adegan menelepon di kantor, makan mie, berjalan berdua,
di dalam taksi, dinner, dan menulis
bersama. Hal-hal tersebut merupakan memori-memori yang dapat menjadi petunjuk
dan membeentuk persepsi spectator itu
sendiri.
Film yang berlatarkan Hongkong pada tahun 60’an ini menyampaikan
tentang modernisme yang menguasai negara itu sendiri. Perselingkuhan yang digambarkan dalam film
tersebut, secara simbolik menggambarkan sikap masyarakat Hongkong. Mereka lebih
mencintai budaya populer dari Amerika Latin yang berkembang pesat pada saat
itu.
Seorang veteran jaman penjajahan Indonesia merantau ke
semenanjung Malaya. Ia menikah dengan wanita Malaysia dan tinggal bersama lima
orang anaknya. Sejauh kehidupannya bersama orang-orang Melayu, Kakang masih
memegang teguh dan membanggakan sikap serta keberaniannya sebagai orang jawa. Ia
selalu mengajarkan kepada anak-anaknya untuk menjadi orang yang berani dan
bekerja keras. Anak lelakinya yang mulai tumbuh dewasa mewakili sifat-sifat
keberanian dan perlawanan yang ia turunkan. Ia seringkali mengkritisi ayahnya
sendiri yang sering bertingkah dan berlaku seenaknya.
Film ini menceritakaan tentang keluarga Kakang yang
hidupnya terisolasi. Keadaan ini disebabkan tindakan Nekat kakang yang
seringkali membuat orang yang menyakiti hatinya rugi besar. Di awal cerita
dikisahkan bahwa Kakang telah membakar persediaan karet milik warga, sehingga
lagi-lagi dia harus diusir dari kampung tempat tinggalnya. Pada awal cerita
sudah dijelaskan bahwa kakang adalah sosok yang arogan dan tempramental. Di
depan orang yang menyakitinya, ia hanya bisa diam. Namun ketika orang tersebut
pergi, ia bisa sangat marah. Ini sesuai dengan karakter orang jawa, dimana
diam-diam ia dapat menyerang orang yang ia benci atau musuhi.
Film ini memiliki pesan-pesan yang disampaikan secara
langsung menggunakan bahasa verbal maupun pesan-pesan khusus yang harus
melewati proses penafsiran terlebih dahulu. Beberapa adegan dalam film ini
menunjukkan adanya penafsiran yang berbeda dari analisis yang dilakukan secara
linguistik dengan penafsiran non-linguistik. Misalkan pada karakter Kakang
sendiri, ia memiliki kaki yang pincang. Keterangan yang dijabarkan oleh Kakang
sendiri menyebutkan bahwa ia adalah salah satu korban luka pada masa perang
melawan penjajahan Belanda. Di luar pertanda bahasa yang ia ungkapkan, kakinya
yang cedera dapat ditafsirkan sebagai sebuah beban hidup yang dialami oleh
Kakang. Namun ia tetap berjalan dengan cepat karna ia percaya bahwa orang Jawa
harus gesit dan bekerja keras.
Comments
Post a Comment
comment here...