Filosofi Kopi 2: Ben & Jody Film Review

Sejak munculnya Filosofi Kopi yang pertama, saya jadi suka minum ngopi lagi. Nggak addicted sih, tapi seneng aja. Yang sebelumnya cuman doyan kopi susu, jadi berani nyobain kopi hitam dengan berbagai cara penyajian. 

Trailer Filosofi Kopi 2: Ben & Jody

Dari sini aku mulai sadar kalau film Indonesia bisa memberikan efek yang cukup signifikan terhadap kebiasaan penontonnya. Belum lagi setelah kemunculan Filosofi Kopi, semakin banyak kedai kopi yang unjuk diri dan bermunculan kedai-kedai kopi baru. Yah... pemuda-pemuda semacam saya mulai suka nongkrong di kafe-kafe, minum kopi sambil berfilosofi tentang kopi. Setiap sruputan untuk mendalami aroma dan rasanya, nyruputnya se-elegan mungkin, semantep mungkin, kaya Ben. Mulai dari memang penasaran tentang kopi, sampai memang ngga mau dibilang ketinggalan jaman.


Profesi barista (read: bəˈrēstə) yang belum banyak dikenal, sekarang udah jadi profesi kece di mata anak-anak muda. Chicco Jerikho yang baru belajar bikin kopi sejak digaet sebagai pemeran Ben ini, sekarang sudah didaulat sebagai Barista kece di Indonesia sejajar dengan Muhammad Aga yang memang seorang profesional Barista yang ikut jadi pemeran pendukung di Filosofi Kopi 2 ini.


Film Filosofi Kopi 2 ini masih nyeritain soal dua sahabat, Ben (Chicco Jerikho) dan Jody (Rio Dewanto). Kali ini mereka berkeliling Indonesia buat ngenalin Filosofi Kopi. But in the end, they decide to go back to Jakarta, bikin Filosofi Kopi jadi kedai nomor satu lagi di Jakarta. Mereka bertemu Tara, perempuan yang bersedia mempertaruhkan modalnya untuk membangun kembali kedai yang sudah di jual oleh Jody (di Filkop pertama). Kehadiran Brie, barista perempuan lulusan Melbourn juga menambah manisnya setiap seduhan babak yang dihadirkan oleh Jenny Jusuf sang penulis naskah.

Tara berhasil mengadakan ekspansi filosofi kopi ke Yogyakarta. Setting fim yang berkembang ini menyumbang nuansa yang berbeda tapi konsisten bagi Filosofi Kopi. Sudut jalan Melawai yang strategis dan memiliki banyak pejalan kaki serta kota Yogyakarta yang terkenal dengan keramahannya sama-sama menunjukkan kedekatan batin dan kehangatan. Ditambah tone warna yang cenderung orange, hangat di mata turun ke hati.


Sama seperti Filosofi Kopi pertama, film ini masih menyuguhkan kebun kopi sebagai resolution dari konflik yang sedang mereka hadapi. Menariknya, Filosofi Kopi 2 ini semakin mendekatkan penonton kepada petani kopi. Dibalik nikmatnya setiap seduhan kopi, terdapat petani kopi yang berjuang keras menanam dan merawat pohon kopi seperti anaknya sendiri. Filosofi Kopi 2 secara sengaja mengajak penonton untuk memberikan perhatian lebih kepada para petani kopi. Bahkan Ben dan Jody mengajak penonton untuk memberikan satu bibit kopi kepada petani kopi dengan cara menonton film Filosofi Kopi 2: Ben & Jody. Satu tiket untuk satu bibit kopi.


Problematika yang ditawarkan film ini benar-benar terasa nyata. Yakin deh, orang yang pernah bikin usaha bareng temennya pasti pernah ngarasain konfliknya Ben dan Jody, meskipun ngga semuanya. Racikan ceritanya terasa pas ketika  Ben dan Jody digambarkan sebagai pribadi yang cukup matang. Hal ini ditunjukkan melalui cara mereka menghadapi konflik. Tidak hanya Ben, namun juga Tara dan Brie. Keempat tokoh ini berhasil mengekspresikan diri sebagai mana orang dewasa seusianya menghadapi permasalahan. Penuh semangat, konsisten, dan berani mengambil resiko. Marah ada batasnya, sedih pun seperlunya. Mereka juga menjadi pribadi yang lebih terbuka yang mau mendengarkan sekitarnya dan satu sama lain. The most important thing is "Jody nggak sepelit dulu lagi."



Chemistry antara Chicco dan Rio semakin lekat. Kedekatan Ben dan Jody terlihat sangat natural. Terang saja, Jody di kehidupan nyata adalah direktur dari Filosofi Kopi. Sebuah intelektual property yang kini dikembangkan tidak hanya dalam bentuk film dan kedai kopi, tapi juga merchandise, distributor biji kopi, radio play, web series, game, dan akan dikemas pula dalam bentuk komik. Filosofi Kopi adalah film Indonesia yang berhasil berevolusi sebagai sebuah brand. Film besutan Angga Dwimas Sasongko ini bisa jadi role model untuk industri film Indonesia pada masa mendatang.

Comments

Popular Posts