Setan Jawa Film Review
“Silent Movie With Gamelan Orchestra”,
tagline yang begitu menarik
perhatian saya. Di era serba digital dan film tiga dimensi sekarang ini, muncul
film yang mengingatkan saya pada sejarah sinema dunia dimana film disajikan
dengan bayangan hitam putih yang diiringi oleh orkestra. Kehadiran gamelan juga
mengingatkan saya pada pertunjukan wayang kulit. Kemudian saya menyadari bahwa
terdapat kesamaan antara film dan wayang. Keduanya menghadirkan imagi warna
yang kaya dalam bayangan dunia abu-abu yang tak terbatas.
![]() |
Director Greeting (Dok. Hanna Humaira) |
Film Setan Jawa adalah cara Garin Nugroho merayakan 35 tahun pencapaiannya dalam industri film Indonesia. Premiere film ini diadakan di Melbourne Art Centre, Australia pada 24 Februari 2017. Kemudian diputar di Jakarta, Jogja, dan Amsterdam. Sebagai mahasiswa yang sedang tergila-gila dengan film Indonesia, saya sangat menantikan kesempatan untuk menonton Setan Jawa. Saya sangat penasaran dengan penyajian film yang satu ini. Beruntung sekali film ini akhirnya diputar di kampung halaman sang komposer, Rahayu Supanggah sebelum melalang buana ke Singapore, London, dan Scotland. Memperingati dies natalies ISI Surakarta ke-53, pemutaran film ini dipilih sebagai puncak acara.
![]() |
Suasana Lobby (Dok. Hanna Humaira) |
Memasuki lobby Teater Besar ISI Surakarta, penonton disambut oleh nenek-nenek berkebaya yang duduk di lantai dan berkeliling sambil membakar dupa. Bau menyengat khas sesajen ini sempat membuat kepala saya pusing. Tapi hal ini justru membuat saya terbawa nuansa magis yang akan ditampilkan dalam Setan Jawa. Sepuluh menit setelahnya, pintu teater dibuka. Saya segera mengambil tempat duduk. Derita akan bebauan tidak berakhir disini, saya masih mencium aroma jamu kecantikan yang sering dipakai oleh perempuan-perempuan jawa pada masa lampau. Ya, kebetulan sebelah saya ibu-ibu sosialita namun terlihat kejawen. Nuansa jawa semakin kental.
Film yang membahas tentang setan, pesugihan, kolonialisme, dunia mistik,
sensualitas, dan magic realism ini berhasil
menyatukan tradisionalisme dan modernisme. Kesenian tari dan gamelan melekat di
dalamnya. Garin menyebutkan bahwa film ini adalah salah satu impiannya akibat
jatuh cinta pada film bisu hitam putih Nosferatu
(1922) dan Metropolis (1927). Kedua film
ini menghadirkan pengalamannya ketika kecil yang dipenuhi dengan pesona
pertunjukan wayang kulit yang diiringi gamelan. Estetika wayang kulit adalah
bagian dari estetik sejarah film, sebutlah estetik arah pandang hingga arah
pakeliran maupun close up dan wide lewat didekatkan dan dijauhkan wayang dari
gambar.
Film ini menceritakan tentang kisah cinta dan tragedi kemanusiaan dengan
latar waktu abad ke-20. Era kolonial ini ditandai dengan lahirnya era industri
yang menyisakan kemiskinan yang sangat besar di tanah jawa. Seiring dengan
meluasnya kemiskinan maka bertumbuh subur pula cara-cara mistik untuk meraih
kekayaan, termasuk pesugihan kandang bubrah, yakni mencari kekayaan dengan
tumbal diri sendiri. Si pelaku harus memperbaiki rumahnya yang terus menerus rusak.
Pada akhir hidupnya, si pelaku akan menjadi tiang penyangga rumah mewahnya
untuk selamanya.
Laku mistik mencari kekayaan ataupun mencari kekuatan sekaligus kekuasaan
sesungguhnya hadir menjadi bagian dari sosial, kultur, politik, dan ekonomi
melewati batas-batas sosial dari kelas bawah sampai atas di Jawa bahkan
Indonesia. Bahkan hingga abad ke-21 pun perilaku ini masih melekat pada masyarakat
Indonesia khususnya Jawa. Masih sering terdengar isu-isu mistik yang muncul
ketika pemilihan pejabat dan pemerintahan, merintis bisnis, kompetisi serta
perlombaan, dan lain-lain.
Di awal pemutaran saya sempat kebingungan antara menonton layar atau
pengrawit yang memainkan gamelan secara langsung. Keduanya sama-sama
mengesankan. Saya baru bisa berkonsentrasi ke layar setelah chapter 2. Suara gamelan
terasa sangat menyatu dengan setiap akting dan tarian yang ditampilkan dalam
film. Berbagai alat musik yang digunakan menciptakan ambience yang pas dan sangat mendukung dramatisasi film ini. Mood yang dihasilkan juga sangat tepat. Meskipun
saya tidak memahami lirik yang dinyanyikan oleh sinden, saya dapat mengikuti dan
menikmati alur cerita film ini.
Acting Fathan Irsyad sebagai setan kecil pada opening film sudah menyita perhatian
saya. Ekspresi dan pergerakannya memperlihatkan kebencian dan kebengisan yang
mendalam. Perubahannya menjadi setan ditandai dengan perubahan wujudnya menjadi
setan berbadan manusia berwajah buruk rupa yang diperlihatkan dengan topeng. Sementara
gerakan tubuh Setio (Hery Purwanto), sang pelaku pesugihan begitu luwes ketika
menari. Ekspresi dan bahasa tubuhnya pun cukup menggambarkan sebagai pemuda ambisius
yang tidak berdaya. Semakin memukau dengan hadirnya Asmara Abigail yang memerankan
sosok Asih, istri Setio. Kostum kebaya, kemben, dan pakaian perempuan jawa populer
pada abad ke-20 membuatnya terlihat sangat anggun dan seksi. Meskipun tidak
banyak menampilkan tarian, ekspresi dan bahasa tubuhnya sudah sangat menawan. Berkaitan
dengan pewayangan, hadir pula tokoh punokawan yang diperankan oleh Danang
Pamungkas dan Cahwati Sugiarto.
Meskipun hitam putih, Garin Nugroho berhasil menggambarkan emosi film pada unsur
sinematiknya melalui aspek tata cahaya. Scene yang menunjukkan dunia mistik
memiliki pencahayaan yang redup. Sumber cahaya cenderung berasal dari satu
arah. Ditambah adanya asap/kabut yang menambah nuansa “dingin”. Sementara scene
yang menunjukkan kebahagiaan diperlihatkan dengan pencahayaan dan kontras yang
cukup sehingga memberikan efek “teduh”. Arah sumber cahaya pun tidak berada
pada satu titik saja. Pergerakan kamera lebih banyak still. Sementara shot cukup beragam, menyesuaikan kesan visual yang ingin ditimbulkan.
Setting film ini ialah rumah sederhana Setio, pasar, rumah ibu Asih, rumah
mewah Setio, candi, sungai, dan pasar pesugihan. Property yang digunakan sebagian besar terbuat dari tanah liat
(tembikar), kayu, bambu, besi, dan sejenisnya. Kereta kuda, tikar bambu, sapu
lidi, serta peralatan yang populer di tahun 1900-an dihadirkan dalam
scene-scene yang memperlihatkan kehidupan masyarakat. Kostum kemben yang
digunakan oleh rakyat jelata dan kebaya yang digunakan oleh kaum bangsawan pada
film ini menampakkan perbedaan status sosial diantaranya. Sementara itu
penggunaan make up sangat bergantung pada karakter yang ingin ditampilkan. Misalnya
pada karakter punokawan: keduanya dirias dengan bedak/body painting berwarna putih
dan bibir merah khas tokoh punokawan dalam pewayangan. Namun make up natural juga
digunakan pada tokoh manusia.
Meskipun menampilkan gamelan yang merupakan seni tradisional, film Setan
Jawa dapat dilihat sebagai produk seni modern karena menampilkan gambar bergerak
yang sudah melalui proses editing dan visual efek. Film ini sukses menyadarkan
saya tentang perlunya melestarikan kesenian tradisional dalam produk seni
modern. Pun tidak harus mengikuti trending style pembuatan film jika ingin membuat film berkualitas. Style yang digunakan harus sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan.
Berikut informasi tambahan film dan gamelan crew of Satan Java.
FILM CREW:
Director
Garin Nugroho
Director of Photography
Teoh Gay Hian
Production Designer
Ong Hari Wahyu
Art Director
Ong Hari Wahyu, Edy Wibowo
Costume Designer
Retno Damayanti
Asistant Director
Winaldo Artaya Swastika, Arief
Malinmudo
Choreographer
Danang Pamungkas, Anggono Kusumo
Wibowo
Line Producer
Fafa Utami, Nova Teguh
Editor
Andhy Pulung, Dodi Chandra
GAMELAN GARASI SENI BENAWA
Director/Composer
Rayahu Supanggah
Rebab, Demung, Caims
Suraji
Slentem, Trebang
Rusdiyantoro
Bonang Barung, Bedug, Kemanak
Supardi
Kendhang Jawa, Penembung, Suling, Trebang, Caims
Sri Eko Widodo
Bonang Penerus, Suling Bali, Kemanak
I Nyoman Sukerna
Saron, Angklung Banyuwangi, Klunching Banyuwangi, Siter
Aloysius Suwardi
Saron, Trebang
Suwandi Widianto
Saron Penerus, Angklung Banyuwangi, Penembang Bali
I Ketut Saba
Vokal/Penembang
Peni Candra Rini
Deny Wulandari
Dita Intawati
Gong, Kempul, Trebang
Harmanto
Gender, Caims, Ketuk, Kenong, Trebang, Bonang Penembung
Wahyu Thoyyib Pambayun
Demung, Suling Jawa, Trebang, Caims
Guruh Purbo Pramono
Comments
Post a Comment
comment here...